Sabtu, 14 September 2024

Cerpen

Penjual Ikan

Oleh: Dina. S


Saat matahari mulai terpecah aku teringat kebersamaan dengan adik serta sahabatku. Kita mandi bersama di sumur samping pemakaman umum. Merenggangkan tangan di tepian sumur saling bertukar cerita. Bercerita sekedar rumor hantu yang berkeliaran di kebun singkong atau mimpi kami masing-masing.

Aku mengawali permohonan dengan melempar satu koin yang aku temui di sudut jendela kamar ke tengah sumur. Tentu saja permintaanku ingin sebuah kerukunan antara keluarga dan sahabatku. Karena mereka amat sangat berarti. Dengan menutup mata aku ungkap dengan keras permohonanku di dalam hati.

Setelah koin tenggelam ke dalam dasar, gelombang kecil lenyap dan untaian do’a tertutup di dalam hati, kemudian secara bergantian adik dan sahabatku mengikuti ritual yang sama. Lalu, kami pulang dan melewati penghujung hari bersama-sama seperti biasa.

Masa lalu telah memudar dan impian tiada terwujud. Hubungan kami merenggang setelah peristiwa angin kencang yang menyerang desa kami. Aku, adik dan sahabatku dipisahkan oleh angin. Bangunan di desa kami terbuat dari anyaman bambu rusak tak tersisa. Beberapa orang hilang karena hanyut terbawa air pasang termasuk dua orang yang sangat aku sayangi. Dan aku masih berharap bisa bertemu dengan mereka untuk menemani di usia senjaku.

Setelah peristiwa itu warga yang tersisa membangun kembali desa secara gotong royong. Aku, ibu dan ayahku sudah ikhlas kehilangan adikku. Termasuk warga setempat yang kehilangan anggota keluarganya. Kami memulai swasembada bersama dengan menanam jenis tanaman bahan makanan lalu menjualnya ke distributor. Semua dilakukan secara sederhana dengan ketekunan yang akhirnya kehidupan warga semakin hari semakin membaik.

Jaman berganti dan banyak perubahan terjadi, setiap warga memiliki kehidupan serta mimpi masing-masing. Kita meninggalkan kegiatan berkebun, termasuk aku yang berganti menjadi berjualan ikan. Sayangnya toko ikan hias yang aku bangun tidak seramai dulu. Akhirnya di usia senja ini, pagi hari aku berjualan ikan air tawar. Satu jerigen berisi ikan nila dan satu lagi ikan mujair. Hanya dengan menggunakan sepeda aku berkeliling desa. Karena sudah memiliki beberapa pelanggan tetap beberapa ibu rumah tangga dan warung makan. Jadi tidak terlalu banyak memakan waktu dalam menjual ikan air tawar. Lalu, jam sepuluh penjualan berganti menjadi ikan hias. Namun menjajakan ikan hias tidak tetap. Setiap hari berbeda sekolah. Hari ini ke Taman kanak-kanak esoknya ke Sekolah Dasar. Biasanya ikan hias habis saat menjelang pembagian raport. Para orang tua memberikan hadiah ikan hias untuk keuletan anaknya mengikuti pembelajaran di sekolah.

Di rumah saat menyeka kaca akuarium aku teringat minggu kemarin. Aku memberikan ikan mujair ke anak yang kehilangan ibunya yang melompat ke sungai. Ingin aku sambangi ke rumahnya karena ia menyebut nama ibunya seperti nama adikku.

Aku memberi makanan ikan arwana kesayangan cucuku. Sambil memandangi ikan aku teringat kejadian sore hari. Anak kecil bersama kakaknya berkunjung ke toko ikan hias. Dia menangis karena ikan hiasnya mengambang tak bernyawa.

Sedikit aku dengar perbincangan mereka, ternyata ikan yang mengambang itu ikan pemberian dari seorang kakek untuk cucunya. Saat menyebutkan nama kakeknya aku terperangah lalu menghampiri mereka. Setelah usai saling bercerita tentang kakek mereka yang ternyata sahabatku, akhirnya aku memberikan gratis ikan hias yang dipilih oleh kakaknya untuk adiknya. Tiada kata salam untuk kakek mereka yang ternyata telah tiada tahun lalu.

Gerimis pagi ini di bawah payung, aku menuturkan doa di atas pusara adikku. Ditemani anakku ia memimpin doa agar adikku yang meninggal tidak wajar bisa beristirahat tenang.

Kita berkunjung ke rumahnya dan hati ini sangat teriris karena rumahnya sangat berantakan dan dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga. Lalu, aku ajak anak beserta cucunya untuk pindah sementara di rumah peninggalan orang tua kami. Adikku menderita demensia dan ingatannya berhenti ketika melempar koin ke dalam sumur.

Menurut penuturan anaknya ia selalu mencari sumur dan melemparkannya koin. Lalu menyebut suatu permintaan yang sama denganku. Seketika aku menangis mengenang saat bermain bersama adik dan sahabatku .


-Selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Coretan

 Navigasi Oleh: Dina. S Dia tidak pernah takut dan menghindar Selalu peduli dan mencoba memperbaiki Saat kau memuja jembatan yang dipakai un...